Wednesday, March 28, 2007 

Muqaddimah by Ibnu Khaldun

Judul : Muqaddimah
Penulis : Abd-ar-Rahman ibn Muhammad Ibn Khaldun (Ibnu Khaldun)
Penerbit: Pustaka Firdaus (021-7972536)
Penerjemah : Ahmadie Thoha
Halaman : 852


Refleksi 600 Tahun Wafatnya Ibnu Khaldun
Pangkal Kejatuhan dan Kejayaan Bangsa

Meski namanya telah diabadikan untuk sebuah universitas di Bogor, masih ada di antara kita mungkin belum mengenal sosok serta pemikiran sejarawan agung dan pemikir ulung yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai bapak sosiologi. Dialah Abd-ar-Rahman ibn Muhammad Ibn Khaldun yang hidup antara tahun 1332 hingga 1406 Masehi.

Di bulan November ini setidaknya tiga konferensi antarbangsa telah dan bakal digelar dalam rangka memperingati 600 tahun wafatnya ilmuwan besar ini. Yang pertama pada 3-5 November lalu di Madrid, Spanyol atas kerja sama Islamic Research and Training Institute IDB dengan Universidad Nacional de Educacion a Distance (UNED) dan Pusat Kebudayaan Islam setempat. Yang kedua baru saja terselenggara Sabtu 11 November 2006, di kampus Johann Wolfgang Goethe-Universitaet Frankfurt, Jerman, di mana penulis berkesempatan hadir. Sedang yang terakhir bakal diadakan pada 20-22 November mendatang di ISTAC Kuala Lumpur, Malaysia dengan tema: Ibn Khaldun's Legacy and Its Contemporary Significance.

Ibnu Khaldun hidup saat imperium Islam bagian barat (termasuk Afrika Utara) di ambang kehancuran. Andalusia terpecah-belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Kaum Murabitun (Almoravid) dan Muwahhidun (Almohad) saling rebut wilayah dan pengaruh. Sementara kaum Kristen Spanyol waktu itu tengah mengkonsolidasi kekuatan mereka dan menyusun strategi untuk melancarkan serangan besar-besaran demi merebut kembali semua daerah yang diduduki kaum Muslim ---peristiwa kelam yang dinamakan reconquista.

Bermula dengan Toledo (1085), lalu Cordoba (1236) dan Seville (1248), dan terakhir Granada (1492), satu per satu wilayah Islam jatuh ke tangan orang-orang Kristen. Kondisi sosial-politik yang tak menentu itu tentu saja banyak memengaruhi perjalanan karier maupun pemikiran Ibnu Khaldun.

Barangkali karena kesibukannya sebagai pejabat negara dan keterlibatannya dalam politik, Ibnu Khaldun tidak banyak menghasilkan karya tulis. Hanya tercatat beberapa buku kecil seputar logika dan filsafat (Lubab Al Muhashshal), tentang tasawuf (Syifa' As Sa'il li Tahdzib Al Masa'il), dan sebuah otobiografi (At Ta'rif). Namun, ia meninggalkan sebuah karya raksasa berjudul: Tarjuman Al 'Ibar wa Diwan Al Mubtada' wal Khabar fi Ayyam Al'Arab wal Barbar wa man 'asharahum min dzawis-Sulthan AlAkbar.

Bagian pendahuluan dari kitab inilah yang melejitkan namanya ke seantero jagad. Tak aneh, sebab Muqaddimah-nya itu tak ubahnya bagaikan kapsul yang memuat ekstrak prinsip-prinsip yang bekerja di balik aneka manifestasi ilmu pengetahuan, pencapaian, dan pengalaman masyarakat manusia dari masa ke masa.

Pandangan yang relevan

Karya yang ditulis Ibnu Khaldun dalam penjara itu telah diterjemahkan ke berbagai bahasa seperti Prancis, Jerman, dan Inggris. Berikut ini beberapa pandangan Ibnu Khaldun yang masih sangat relevan kini untuk menjadi bahan renungan kita yang sedang berusaha bangkit meraih kejayaan.

Masyarakat dan negara yang kuat adalah masyarakat dan negara yang padanya terdapat tiga perkara. Pertama, solidaritas kebangsaan yang kokoh, di mana sikap dan perilaku mendzalimi, membenci dan menjatuhkan satu sama lain bertukar menjadi saling memberi, saling menghargai, dan saling melindungi. Ibnu Khaldun menyebutnya ashabiyyah atau group feeling --meminjam terjemahan Rosenthal. Kedua, kuantitas dan kualitas sumberdaya manusianya. Ketiga, kebangkitan suatu bangsa dan kejayaan negara berawal dari dan hanya akan langgeng apabila orang-orangnya selalu optimis dan mau terus-menerus bekerja keras. Kesuksesan tidak dicapai sekonyong-konyong, ujar Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, iii/49.

Ibnu Khaldun menganalogikan proses kelahiran dan kehancuran suatu negara dengan kehidupan manusia. Ada tahap-tahap yang mesti dilalui, masing-masing dengan pasang-surut dan pahit-manisnya. Menurut Ibnu Khaldun yang memandang proses sejarah dalam kerangka siklus (ketimbang proses linear ataupun dialektikal), runtuhnya suatu imperium biasanya diawali dengan kedzaliman pemerintah yang tidak lagi memedulikan hak dan kesejahteraan rakyatnya (iii/43) serta sikap sewenang-wenang terhadap rakyat (iii/22). Akibatnya timbul rasa ketidakpuasan, kebencian dan ketidakpedulian rakyat terhadap hukum dan aturan yang ada.

Situasi ini akan semakin parah bila kemudian terjadi perpecahan di kalangan elite penguasa yang kerap berbuntut disintegrasi dan munculnya petty leaders (iii/45). Yang paling menarik adalah observasi Ibnu Khaldun pada pasal 11: bahwa ketika negara sudah mencapai puncak kejayaan, kemakmuran dan kedamaian, maka pemerintah maupun rakyatnya cenderung menjadi tamak dan melampaui batas dalam menikmati apa yang mereka miliki dan kuasai. Itulah petanda kejatuhan mereka sudah dekat.

Namun, kejatuhan suatu bangsa hampir selalu didahului atau diikuti oleh kenaikan bangsa lain yang mewarisi dan meneruskan tradisi maupun peradaban sebelumnya. Sebagai pengganti yang belum semaju dan secanggih pendahulunya, bangsa yang baru muncul ini cenderung meniru bangsa yang pernah menjajahnya hampir dalam segala hal, dari cara berpikir dan bertutur hingga ke tingkah laku dan soal busana. Proses ini bisa berlangsung tiga sampai empat generasi.

Bangsa yang dikalahkan cenderung meniru bangsa yang menaklukannya karena mengira hanya dengan begitu mereka dapat menang kelak. Jika kejayaan suatu bangsa hanya bertahan empat atau lima generasi, hal itu dikarenakan generasi pertama adalah 'pelopor', generasi kedua 'pengikut', generasi ketiga 'penerus tradisi' (tradition keepers), sedangkan generasi keempat berpaling dari tradisi (tradition losers).

Berbeda dengan para penulis sejarah sebelumnya, Ibnu Khaldun dalam analisisnya berusaha objektif. Pendekatan yang dipakainya tidak normatif, akan tetapi empiris-positivistik. Uraiannya berpijak pada das Sein dan bukan das Sollen, pada apa yang sesungguhnya terjadi, bukan apa yang seharusnya terjadi.

Dr. Syamsuddin Arif Ph.D
Orientalisches Seminar Frankfurt, Jerman
http://www.republika.co.id/kolom_detail.asp?id=271691&kat_id=16


About me

    Assalamu'alaikum wr wb,

    Blog ini dikhususkan untuk menyimpan resensi buku-buku Islam dan buku-buku itu bisa berupa buku referensi semisal buku fiqih, hadits dan sebagainya. Atau bisa juga berbentuk novel atau cerita pendek yang masih bernafaskan Islami.

    Beberapa buku di blog ini ada yang ditulis reviewnya sendiri oleh admin, sebagian lainnya dari republika, swaramuslim dan berbagai tempat lainnya di internet.

    Kalau kamu juga punya atau pernah meresensi buku-buku Islam, sharing di blog ini ya. Kamu bisa kirim resensinya (beserta foto bukunya kalau bisa) ke e-mail:
    indrayogi[at]hotmail.com. Ditunggu ya partisipasinya.

    Untuk kiat menulis resensi buku bisa dibaca disini, untuk tips merawat buku, silahkan klik disini dan untuk tips speed & effective reading, klik disini. Semoga blog kecil ini bisa bermanfaat untuk dijadikan referensi dalam memilih dan membeli buku Islam.

    Wassalamu'alaikum wr wb
Powered by Blogger
and Blogger Templates